Selamat Datang :)

Menulis ya? Hmm..
Menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Kamu bisa menulis apapun tanpa batas. Menulis merupakan cara kamu berbicara dengan dirimu sendiri. Dengan menulis, kamu akan mengetahui kondisimu saat itu.
Selamat menulis :)

Rabu, 25 Juli 2012

Bagian Terbaik

Aku ingin berhenti, sebentar saja. Aku lelah terus menebak-nebak apa yang kamu rasakan dan yang akan kamu lakukan. Aku lelah menawan rindu ini. Rindu saat menatap matamu, melihatmu mentertawakanku, melihat tanganmu entah melakukan apa, lalu berjalan sejajar denganmu, tawa renyah yang diam-diam kunikmati. Aku ingat benar pertama kali berbincang, keajaiban untukku, aku begitu gugup bahkan aku tak tahu harus berbicara apa. Masih bolehkah aku merindukan semua itu? Tidak, aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menyimpan semua itu dalam bagian terbaik hidupku.

Kenangan

Terduduk sendiri disana. Memikirkanmu, kenangan bersamamu juga kenyataan tak terjangkau. Beberapa kali aku berlari dari kenangan itu tapi dia menggenggam tanganku sangat erat. Mungkin bagimu itu hal kecil. Aku menyerah dan memilih duduk bersama kenangan itu. Kami berbincang, berbicara tentangmu lalu tertawa bersama. Menyenangkan meski ada sesuatu yang mulai menusuk-nusuk. Katanya, dia masih ingin bersamaku sebelum dia benar-benar pergi. Ya, hanya berdua saja, aku dan kenangan, tanpa kamu. Aku tersenyum.
"Tinggallah sesukamu, aku tak apa," kataku.
Kini aku tak lagi berusaha lari darinya. Aku yang akan mengantarkannya, berjabat tangan, berpelukan dan dia menjauh dari ingatanku.

Tidak Lagi

Ia sedang asyik bermain dengan kupu-kupu taman yang tampak sangat lucu. Warna biru itu memukau matanya. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang membuat kupu-kupu itu terbang menjauh.
"Ah, kenapa pergi?" katanya.
Lalu dilihatnya seseorang yang kini duduk disampingnya.
"Ada apa? Kekasihmu lagi?" katanya tak sabar.
Laki-laki itu mengangguk. Hening. Hanya terdengar angin yang berkejaran.
"Sudah kukatakan berkali-kali, dia tak baik untukmu, kak," katanya lalu menyerahkan sebongkah coklat besar.
Ia tak mau lagi melihat laki-laki itu terpuruk dikamar gelapnya hanya karena perempuan itu, yang ia jumpai di gang sempit dengan laki-laki lain, bukan kakaknya.

Selasa, 24 Juli 2012

Kutub Magnet

Aku pasti akan selalu ingat saat kamu dan aku duduk berdua disana, ruangan dengan banyak kursi juga jendela yang terbuka, membiarkan sinar mentari dan angin berebut untuk masuk. Iya, memang bukan hal aneh. Duduk bersama dan berbincang juga tertawa dengan orang yang dulu bahkan seperti magnet dengan kutub yang sama, jelas saling menjauh. Tapi itu dulu, perlahan kutubnya mulai berbeda dan bisa menyatu. Ya, itu masih tetap dulu, setahun yang lalu, sekarang? Mungkin kutubnya telah berubah lagi. Tahun ini, tak akan ada lagi aku dan kamu duduk bersama, berbincang juga tertawa. Ya, itu masih mungkin, belum menjadi kenyataan tapi aku akan selalu ingat.

Coklat

Mengingat bersamamu, membuka hari penuh goresan. Tertawa bersamamu, menikmati pagi dengan senyummu. Ah, rasanya seperti makan coklat. Manis dan menyenangkan. Aku begitu menikmatinya hingga lupa, coklat itu mungkin akan segera habis, tapi tenang, aku masih bisa mengenangnya, mengingat semua waktu itu. Ya, mungkin begitu. Entahlah dengan dirimu, apa seperti itu juga atau tidak. Coklat akan selalu manis, seperti juga kenangan itu, seperti juga dirimu.

Bohong

Malam sunyi dibawah kerlip bintang ia duduk termenung. Ada perempuan disampingnya, sahabat sejak kecil.
"Sudahlah kawan. Ia tertawa bersamamu bukan berarti ia suka. Ia mengagumimu bukan berarti ia jatuh cinta. Sejak awal ia telah memiliki kebahagiaannya, lalu kamu hadir. Lihat, ia hanya berteman denganmu, tak lebih," kata perempuan.
Hening.
"Aku juga bahagia bila ia bahagia. Ya, mungkin begitu," katanya.
Ia berbohong, membohongi hatinya, membohongi keberadaan dan meracuni perasaan itu agar cepat musnah. Ia tak peduli dengan sakit yang menderunya. Ia tak ingin mempedulikan hal itu lagi. Ia hanya ingin rasa itu pergi. Mengerti dan menerima, itu saja yang kini harus dilakukannya.

Tak Bosan

Senja itu, aku duduk dikursi kayu taman, disamping laki-laki yang bercerita dia dan kekasihnya mengalami love cold. Banyak sekali yang laki-laki ceritakan dan aku hanya tersenyum.
"Kekasihmu itu sangat baik," kataku.
Laki-laki menatap tanya. Aku melanjutkan kata-kataku.
"Dia jarang menghubunginmu, agar ada rindu diantara kalian. Dia jarang bertemu denganmu, agar setelah menikah kamu tak bosan. Dia jarang menemuimu, agar kamu selalu ingin disampingnya, agar kamu tak bosan dengan kehadirannya. Dengan begitu kalian bisa melakukan banyak hal. Lihat, betapa baiknya dia. Dia tak ingin membuatmu bosan, dia ingin kamu bahagia," kataku mengakhiri.
Laki-laki menatapku dan tersenyum.
"Aku mengerti," katanya.

Lupa

Rasa itu mengusik batinnya. Ia tak tenang, dadanya berdegup tak biasanya.
"Kenapa ini?" katanya.
Lama ia terdiam merasakan degup yang mulai menyakitkan. Lama dan cukup lama. Mengingat kembai hal yang membuatnya suka pada seseorang dan kini harus menggalau karena ulahnya sendiri.
"Apa yang salah?" katanya lagi sembari menekan kesakitan yang dirasa.
Disaat itulah tiba-tiba ia mengingat suatu hal yang hampir dilupakannya.
"Titip hatiku ya, Allah. Sukakan dan cintakan aku pada jodohku. Serahkan hatiku padanya ketika waktunya tiba. Aamiin,"
Do'a itu selalu ia azamkan. Tersadarlah ia akan kenyataan yang kini dialaminya.
"Mungkin bukan dia," katanya sembari tersenyum.

Suka?

Sejak menerima pesanmu tentang mimpimu yang kita bilang parah, saya curiga dengan senyum saya yang mulai berbeda. Ada sedikit rasa aneh tapi saya abaikan. Lalu cara saya menunggu pesan darimu, itu jelas sangat berbeda dan senyum itu semakin aneh. Berkali-kali saya meminta maaf kepada dia dalam hati. Jelas saya merasa berdosa dengan keadaan ini. Perasaan yang entah apa namanya, saya tidak tahu, mulai menari-nari dalam beberapa waktu. Apa itu yang dinamakan suka? Salahkah?

Mungkin

Ia lebih suka menatap langit kebiruan karena ada banyak sekali arakkan awan yang berbentuk macam-macam. Ada beruang, bunga, ikan, gunung dan,
"Ah kenapa ada awan seperti itu?" katanya.
Awan yang ditatapnya membentuk wajah tersenyum.
"Dia," gumamnya.
Terlalu sering ia menyimpan senyum-senyum itu. Dosakah? Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia melihat senyum itu. Mungkin ia tak akan menjumpainya lagi setelah kotak salju itu ia berikan. Mungkin itu kali terakhirnya ia mencuri senyum itu.

Dengar

Disudut jendela, perempuan mulai bicara.
"Aku menyukaimu. Ya, rasa itu kini bersemayam dalam hatiku. Ia memaksaku untuk menerobos masuk kedalam hatimu. Aku tahu, sejak hari itu senyummu selalu ada dalam halaman hidupku, hingga sekarang. Dengar, cemburu itu telah hadir bersamaan dengan cinta yang bergandengan. Aku hanya tersenyum. Aku tak bisa melakukan itu. Aku harus menghormati dia yang lebih dulu bersamamu dan tidak mencuranginya. Jika saja semua rasa ini benar adanya, akan kuceritakan semua padamu. Ya, jika saja. Tapi sekarang aku belum memliki alasan kuat untuk melakukannya. Bukan, ini bukan suka, apalagi cinta. Ini hanya rasa nyaman,"
Hening.
"Kau bisa dengar itu?" ia bergumam pada langit seakan laki-laki itu berada disana.

Mencintaimu

"AKU MENCINTAIMU HEEIIII!!!"
Ia berteriak tidak pada siapa pun. Diujung batu itu ia berdiri. Terpaku. Dadanya panas, sakit. Ia baru menyadari, ada cemburu yang bersemayam disana dan itu berarti ada cinta juga. Cinta? Benarkah? Pada laki-laki itu? ia meneriakkan kembali kata-kata tadi, terus menerus hingga suara dibelakangnya menghentikan teriakkannya.
"Apa dengan begitu dia bisa tahu perasaanmu?" kata laki-laki.
"Mungkin, karen dia sedang disini, berbicara denganku," kata perempuan.
Hening.

Berharga

"Aku punya sesuatu untuk kamu," kata perempuan kepada laki-laki didepannya.
Laki-laki menanggapi dengan antusias. Tangannya dibalik punggung, jelas sekali ia memegang sesuatu.
"Tadaaa..." ia mengulurkan dua lembar kertas, tiket.
Kening laki-laki mengkerut.
"Ha.. Jepang?" katanya.
Ia mengangguk penuh senyum. Laki-laki itu pasti sangat menyukainya. Memang ada senyum diparas laki-laki itu tapi kemudian memudar. Laki-laki itu berkata bahwa ia telah berjanji mengajak kekasihnya tapi belum ia penuhi.
"Aku tak mungkin pergi tanpa dia, denganmu," kata laki-laki.
Hening.
"Kamu bisa ajak dia. Pakai saja tiketku," katanya tersenyum lalu tertunduk menghapus rangkaian kejutan yang ia siapkan, juga menepis perasaannya. Ia tahu, senyum itu lebih berharga untuknya meski sedikit melukai.

Tak Mungkin

Tak ada yang tak mungkin.Ya, ia meyakini betul kalimat itu. Ia juga tahu, perasaan itu benar adanya, ya, dihatinya. Ia juga tahu, laki-laki itu akan merasakan itu padanya, tapi ia tepis dugaannya. Ia tahu hal itu dapat terjadi tapi ia tak mau meyakini itu seorang diri. Menganggap ada pengecualian untuk hal itu. Didepan laki-laki itu, "AKU MENYUKAIMU, SUNGGUH!!" kata itu begitu lantang ia teriakkan kepada laki-laki itu, ya, berteriak dalam hati dan hanya menghasilkan senyum getir yang dipaksakan menjadi senyum manis dihadapan laki-laki itu.

Rindu 2

Rindu, rindu, rindu. Membelenggu sapuan senja yang akan segera beranjak. Ada cinta yang menunggu untuk disambut, tapi yang ditunggu, tidak. Melepas adalah cara terbaik ketika satu pihak tak lagi dapat berjalan. Cinta seperti sepeda, memiliki dua roda yang berputar bersamaan. Ia tak dapat dipaksakan bila salah satunya rusak. Sama halnya dengan rindu. Bila hanya satu pihak yang merasakannya, akan sulit untuk menautkannya. Apalagi rindu kepada seseorang milik orang lain. Ia akan membunuhmu perlahan dengan rindu yang tak seharusnya.

Pernikahan

Senja itu rumahnya masih lengang. Ia baru saja merapikan istananya lalu menanti pangerannya tiba. "Assalamualaikum," terdengar suara mulai memasuki rumah yang langsung disambut dengan senyum hangat. Diciumnya tangan laki-laki itu dan membalas dengan mengecup keningnya. Ah, betapa bahagianya ia dengan laki-laki yang dipanggilnya abi. Seperti seminggu yang lalu, ia selalu menyajikan teh hangat kesukaan suaminya dan bercengkrama menikmati indah pernikahan yang baru sepekan itu.

Maaf

Dengan penuh semangat ia berjalan ke tempat itu, membawa bungkusan cukup besar. Orang yang dihampirinya, teman dekatnya sejak lama, sedang berkumpul dengan mereka, mungkin teman-temannya karena mereka terlihat begitu intim. Penuh senyum ia menghampiri laki-laki itu. Berharap ia akan segera menemui senyum itu, tapi harapannya pupus begitu cepat ketika detik berikutnya ia berada dihadapannya dengan mendengar kata-kata itu, kata-kata yang mentulikan pendengarannya. "Siapa kamu?" kata laki-laki itu dengan wajah datar. Deg. Dadanya panas, hatinya perih. Petir itu menyambar tepat pada dirinya. Tertunduk dan menahan sesak. "Aku...bukan siapa-siapa. Maaf," katanya smabil pergi bersama air mata tak terbendung hingga panggilan dibelakangnya pun tak lagi ia hiraukan.

Parfum

Pertama kali aku bertemu dia, satu hal yang aku ingat, semerbak wangi parfumnya. Ya, selalu itu yang aku nanti. Seperti sekarang, wangi parfum itu berkeliaran di udara bebas dan selalu pikiranku tertuju kepada dia si pemilik wangi parfum itu ketika penciumanku dibuai semerbaknya. Tapi bukan dia, hanya orang lain. Ya, wangi itu telah hilang sejak lama. Aku hanya menikmati wangi parfum itu, tepatnya mencurinya, dari orang lain.

Tawa

Siang yang terik tak lantas membuat kami harus mundur. Dengan pakaian bersayap juga batik merah keunguan berlaga didepan beratus pasang mata. Ada rasa puas dan sedikit kecewa yang bergolak dalam hati. Itulah jerih payah kami selama sepekan ini dan berhasil mentertawakannya saat itu juga. Kubilang bahagia itu sederhana. Ia tak butuh intan, berlian juga permata. Ia hanya butuh kebersamaan, tawa, canda dan saling memahami. Lihat, itu sangat sederhana, bahkan lebih sederhana dari meneguk segelas air. Itu yang aku dapat dari mereka yang hampir sepekan ini terus berada dalam lingkaran waktuku. Tawa itu telah menjadi tali pengikat permanen untuk kami.

Tak Ada

Mentari masih malu-malu untuk menampakkan rupanya. Sedangkan gadis itu telah terduduk diatas meja menghadap jendela terbuka. Pandangannya menatap lurus. Ruangan itu masih lengang, hanya ada kursi-kursi yang membisu dalam keheningan. Matanya mulai terpejam sejalan dengan sepoi angin yang membelai wajahnya. Ia menikmatinya bersama lantunan biola yang entah datang dari mana. Cukup lama ia terdiam menikmati paginya. Hingga tiba-tiba, tap tap tap. Langkah itu semakin dekat, lalu tangan hangat meraih pundaknya bersamaan dengan sapaan lembut dari orang itu. Alisnya mengkerut, ia membuka mata dan menoleh. "Tak ada," katanya. Ia lupa, orang itu telah pergi jauh-jauh hari.

Fatal

Rasanya tetap bermain adalah cara yang kurang tepat untuk dipilih. Mungkin harus menulis dijidat JAGA JARAK dengan huruf kapital, size super juga tak lupa menggunakan bold. Ya, mungkin harus begitu, tapi sungguh, itu akan sangat terlihat bodoh. Lalu apa aku harus membuka jahitan yang telah susah payah aku jalin? Ah, tidak. Aku sangat tak ingin melakukannya. Itu sangat menyakitkan. Lalu? Memang salahku diawal dan sekarang semakin fatal. Lihat, aku salah menempatkan jarum dan malah melukai aku sendiri. Ah, iya. Harusnya aku tak bermain dan berhenti melakukannya. Ya, pelan-pelan dan jangan tergesa.

Kematian

Sirine itu masih tetap meraung-raung. Deretan benda-benda beroda itu masih pada tempatnya sejak beberapa detik yang lalu. Mengapa mereka tak membiarkan kendaraan itu lewat? Apa mereka tidak mengerti dengan auman sirine itu? Mereka sibuk, mereka tahu mereka masih bisa menunggu tapi apakah kematian bisa menunggu? Apakah ia bisa memberi toleransi dan menunggu? Tidak.

Komitmen

Menjelaskan perasaan saja tidak bisa, selalu terbentur niat yang diazamkannya. Ada rasa takut, enggan untuk memulai tali yang belum diyakininya. Ia ingin tapi tak berani. Ia tak ingin kembali mendera batinnya. Ia tak ingin kembali membual. Komitmen yang ia yakini membuatnya semakin paham. Ia ingin sesuatu yang pasti, yang menjadi haknya.

Pelangi

"Aku hanya perlu sabar dan usaha," katanya. Ia tahu guratan pelangi itu masih samar. Tidak, itu bukan miliknya, tapi ia masih saja bermain dengannya. Hujan itu mengingatkannya. Ia masih harus mencari pelangi untuk senjanya. "Ya, bukan yang ini. Itu milik senja lain," katanya lagi. Haruskah memungkirinya? Karena rindu itu semakin mengancamnya.

Lihat

Lihat, mereka saling memburuku tepat saat kamu akan benar-benar pergi. Mereka selalu memapahku dalam barisan mimpi tentangnya. Tentang kenangan yang belum sempat kita rangkai. Tentang tawa yang masih menjadi awan diangkasa. Tentang perjalanan yang belum kita tempuh. Tentang semua yang masih menjadi rahasia. Lihat, aku bahkan tak akan melukiskan apa pun diwajahku ketika kamu akan benar-benar pergi. Lihat, semua berburu, menjejali diri satu persatu untuk diadili. "Aku tak ingin waktu itu ada," katanya. Ketika sampai pada waktunya, maka ia akan kembali berputar kesemula, tanpa kamu.

Hijab

Selalu ada hijab diantara keduanya. Ya, ia menyebutnya sedang bermain petak umpet. Terkadang ada tawa kecil ketika melihat mereka saling menyapa tanpa mellihat. Seakan sedang berbicara dengan tirai.Tapi ketika ia sendiri mengalami, ternyata memang ada sesuatu yang didapat setelah itu.

Lama

Kali itu ia mendapat pesan yang tak biasanya. Ia menyetujui ajakan dari pesan itu. Lalu menit berikutnya ia sudah berdiri dipinggir jalan, menunggu seseorang menjemputnya. Satu dua menit ia masih sanggup untuk menunggu. Lama, lama dan lama. Belum juga tiba. Ia masih menunggu. Tap tap tap. Kakinya mulai dihentakkan, menimbulkan bunyi seperti nyanyian. Menunggu lagi. "Lama," katanya. Tengok sana sini. "Tidak ada," katanya. Menunggu. Lama, lama dan lama. "Aaaaaaah kapan datangnya sih?" katanya lagi mulai tak sabar.

Senyum

Senja itu ia bertemu dengannya. Dibawah kaki langit jingga membentang digaris horizon. Mereka tertawa ceria. Sangat bahagia. Ada sekerat kue coklat yang sengaja dibuatnya beberapa jam yang lalu. Seperti yang selalu ia katakan, senja tak pernah mengecewakannya. Ia mendapat apa yang ia mau, melihat senyuman terbaik darinya, sebelum akhirnya ia hanya akan bisa melihat itu dari ingatannya. Tepat beberapa hari kemudian, ia kembali menemui senja dibawah pohon sakura. Ia kembali melihat senyum itu, dalam ingatannya.

Senin, 23 Juli 2012

Melupakan

Nyaris satu tahun ia memutus hubungan dengan laki-laki itu. Laki-laki yang amat dicintainya, yang harus ia relakan karena suatu hal. Suatu hari, tiba-tiba saja laki-laki itu menghubunginya kembali. "Aku tidak bisa melupakanmu," kata laki-laki itu. "Tak akan semudah itu melupakan aku. Dia saja yang sudah lima tahun masih belum melupakan aku, apalagi kamu," kata perempuan.

Flu

Pagi itu terasa berat untuknya. Penyakit itu berhasil membobol pertahanan tubuhnya. "Haciim...hacim." Suara itu terdengar hampir tiap menit. Tangannya merogoh sesuatu di tas."Wah habis," katanya. Bersin-bersin itu terus memburunya. Saat seperti itu, tiba-tiba saja ada seseorang yang menyodorkan tisu. Tisu itu terlihat bagaikan bongkahan emas yang segera diraihnya, namun ia segera terdiam ketika melihat paras itu. Terpesona menatapnya. Lalu, "dua ribu, neng," kata laki-laki itu dengan wajah serius. "Yee itungan banget sih," jawabnya. "Hahaha.. ngga ko, bercanda," kata laki-laki itu.

Kun Fayakun

Senja dan pelangi tak berjodoh. Pelangi adalah jodoh hujan. Tapi kalau kun fayakun? Bisa saja kan senja dan pelangi jadi jodoh :D

Setidaknya

Setidaknya aku pernah kenal dengan dia, berbincang dengan dia, berjalan disamping dia, makan dengan dia, melihat dia tersenyum, melihat dia tertawa dan melihat dia galau. Setidaknya semua telah terjadi selama satu tahun ini. Seandainya dia pergi pun, setidaknya aku bisa mengingat semua itu.

Mengganggu

Sekali lagi HP itu berdering setelah sebelumnya berdering berkali-kali. "Hm bosan sekali," kata laki-laki itu. Namun tak pernah ia utarakan langsung kepada si empunya. Setiap waktu, HPnya selalu berdering. Bukan, bukan dari pacarnya, hanya seseorang yang baru menjadi teman dekatnya. Hingga suatu waktu, laki-laki itu tak dapat lagi menerima keadaannya. "Semua pesanmu itu sungguh sangat mengganggu. Tak ada pentingnya untukku," katanya. Send. Detik berikutnya, HP itu berdering. "Maaf," hanya kata itu. Sejak saat itu, HPnya tak berdering seperti dulu.

Senja

Kini aku harus mengurungkan niatku untuk mendekapnya, memeluknya dengan kedua tanganku. Aku harus menguburnya dalam-dalam, memusnahkan rasa yang bukan cinta ini, karena cinta harus ada cemburu dan aku tidak memiliki itu. Harus kuterbangkan semua mimpiku tentang si lengkung pelangi dilangit tanpa ujung. Senja dan pelangi memang tak berjodoh. Pelangi hanya berjodoh dengan dia, si hujan.

Menunggu

Ia bahkan tak akan menerima laki-laki itu menjadi pacarnya, atas dasar apa pun. "Tapi aku menyayangimu," laki-laki itu meyakinkan. Sekeras apa pun laki-laki itu berusaha, tak ada celah untuknya karena ia masih menunggu. "Maaf, belum ada alasan untukku bisa menjadikanmu pacarku," katanya, lalu pergi.

Dia

Pagi buta, gadis itu bersama temannya sudah memenuhi lapak kantin sembari menonton acara TV kesukaan mereka, spongebob. Sedang asyik menonton tiba-tiba, hap, mata gadis itu tertutup tangan seseorang. "Siapa ini?" katanya meraba tangan itu. Detik berikutnya, tangan itu terlepas dan terlihatlah deretan gigi, tersenyum. "Ternyata dia," katanya pelan. Dia yang akhir-akhir ini selalu ada dimana pun gadis itu berada. Bahkan kerap kali menunggu hanya supaya pulang bersama.

Biola

Gadis itu sedang membolak-balik buku dengan judul Biola Untuk Pemula. Ia sangat serius hingga tak menyadari kedatangan laki-laki disampingnya. "Serius amat," katanya. Mata itu menoleh lalu tersenyum. Kedatangannya begitu tiba-tiba, ia juga membawa bungkusan cukup besar. "Habis mudik ya? Hehe," komentarnya. Laki-laki menyodorkan bungkusan itu. Mata mereka hanya saling menatap, lalu dibukanya perlahan. "Waah biolaa," setengah berteriak. Lalu ia berhasil mencabik pipi laki-laki itu yang kemudian berteriak juga. "Terima kasih ya," katanya malu-malu.

GWS

Ruangan itu menjadi tampak berantakan karena ia-perempuan itu-selalu berhasil meluncurkan benda ditangannya. Akhir-akhir ini tubuhnya menjadi tak terkendali. Benda terakhir yang ia jatuhkan adalah makan siangnya sendiri. "Ayolah, kau butuh istirahat," kata laki-laki yang baru saja datang. Setelah jatuh berkali-kali, akhirnya ia menyerah. Laki-laki itu memapahnya menuju kamar dan ambruk. Ia terlalu lelap untuk merasakan selimut hangat dan belaian lembut pada kepalanya, juga ucapan laki-laki itu, "get well soon, dek," katanya lalu pergi.

Si Putih

Ingat si putih, ingat jaman dulu. Si putih yang menjadi idola tapi acuh. Aku dan si putih menjadi akrab bagaikan adik dan kakak yang telah lama tidak bertemu. Setiap aku pulang malam, si putih selalu mengantarku dengan motor bebeknya. Si putih yang selalu melempar senyum saat berpapasan denganku. Ah, sayang. Si putih kini telah pergi, jauh. Pernah suatu hari aku bertemu si putih, namun tidak dengan bebeknya yang dulu, tapi dengan ninja merah.

Happy Birthday

Ruangan itu tampak gelap gulita. Tak ada satu titik cahaya pun. Tangannya meraba-raba benda disekitarnya. "Lagi pemadaman ya?" katanya. Lalu tiba-tiba cahaya menyilaukan juga teriakkan itu mengejutkannya, "HAPPY BIRTHDAY", terucap serempak seperti paduan suara. Senyum itu mengembang. Dipeluknya perempuan itu yang dipanggilnya adik.

Say It

Sore itu, ia duduk berdua, dibawah pohon rindang disertai sepoi angin. Senyum juga merekah pada keduanya. "Maafkan aku menyimpan ini semua terlalu lama,". Laki-laki disampingnya hanya menatap. Hening. "Terlalu lama aku membiarkan rasa ini, lebih dari sekedar rasa rindu yang memenjara, rasa cinta," katanya.

Rindu

Hujan menemani malam kelabunya. Dingin yang menusuk-nusuk semakin ingin membuatnya berteriak-teriak menangis. Menangisi rindu yang kini memasung hatinya. Rindu yang kini mematahkan sayap cintanya. "Ah, rindu. Mengapa harus tertuju pada dia yang telah memiliki rindu yang lain?"  tanyanya yang kini mulai berderai air mata.

Es Krim

Tepat pukul 12 tengah hari, ia berjalan bersama peluh juga panas matahari yang membakar. Langkahnya terlihat gontai manakala jalan yang dilalui tak lagi mulus. Lelah, panas juga kerongkongan yang mulai kering meminta setetes air. Tiga puluh menit berikutnya, benda padat, manis dan dingin melumer dimulutnya lalu berjalan menuruni kerongkongannya yang sedari tadi telah tandus. "Ah, nikmatnya es krim coklat ini," katanya.